KOMPAS.com — Media massa sudah memberikan ulasan
cukup banyak dari berbagai sisi tentang ujian nasional. Meski demikian,
relevansi UN Matematika dengan tantangan kehidupan modern sendiri belum
pernah diulas. Padahal, inilah yang seharusnya dikaji lebih mendalam.
Apa sebabnya? Pereka cipta standar pendidikan nasional kita telah
menyadari peran vital pembelajaran Matematika sekolah dalam
mengembangkan kecakapan yang dibutuhkan anak-anak kita agar dapat
berperan di masa depan. Relevansi mata pelajaran Matematika sekolah
dengan kecakapan masa depan diperkuat lagi dengan sebuah riset gabungan
yang dilakukan pada 2006.
Saat itu, tim gabungan antara Departemen Tenaga Kerja AS,
Massachussets Institute of Technology (MIT), dan Universitas Harvard,
melakukan sebuah studi bersama untuk memahami kebutuhan kecakapan untuk
masa depan. Peneliti Richard Murnane (Guru Besar Bidang Pendidikan
Universitas Harvard) dan Frank Levy (Guru Besar Ekonomi Urban MIT)
mendata kecakapan-kecakapan mana yang memiliki kecenderungan meningkat
dan menurun kebutuhannya.
Satu kecakapan mental yang memiliki kecenderungan kebutuhan meningkat paling besar adalah expert thinking. Kecakapan mental expert thinking ini tepatnya adalah kecakapan memecahkan masalah yang belum ada jawabnya berdasarkan aturan atau rule-based solutions. Ini adalah jenis kecakapan mental untuk memecahkan masalah yang belum ada rumus pintas untuk menjawabnya.
Guna menumbuhkan kecakapan mental itulah, peran pembelajaran
Matematika di abad ke-21 menjadi sangat penting. Melalui pembelajaran
Matematika di sekolah, kita juga berharap anak-anak kita menyuburkan
sikap yang mendukung expert thinking, seperti tak gampang
menyerah, gigih, menikmati proses pemecahan masalah, ingin tahu, percaya
diri dalam bermatematika, senantiasa mencari alternatif penyelesaian,
dan sebagainya.
Sebaliknya, kecakapan yang memiliki kecenderungan penurunan kebutuhannya paling drastis adalah routine cognitive tasks. Ini adalah jenis kecakapan mental yang sangat jelas aturannya. Biasanya, aturannya sudah dapat dijabarkan dengan diagram alir if-then-else atau jika-maka-jika tidak.
Kegiatan-kegiatan mental yang didasarkan alur logika pasti seperti
ini berangsur-angsur telah digantikan oleh kerja komputer. Akibatnya,
kecakapan mental kognitif rutin ini semakin menurun tuntutannya dalam
kehidupan modern seperti sekarang. Perusahaan-perusahaan besar modern
sudah jarang menuntut kecakapan mental kedaluwarsa seperti ini lagi pada
pelamar kerja.
Maka, sangat disayangkan, UN mata pelajaran Matematika kita justru
memang fokus dalam mengukur kecakapan mental kognitif rutin tersebut. Assessment
ini berkutat pada pengukuran ingat tidaknya siswa terhadap
definisi/rumus dan menggunakannya serta mengukur keterampilan/ketelitian
berhitung. Padahal, kumpulan kecakapan kedaluwarsa ini bukan bekal yang
tepat untuk anak-anak kita hidup di abad ke-21.
KOMPAS.com - Kondisi ujian nasional (UN) mata
pelajaran Matematika yang hanya berkutat pada hafalan dan ketrampilan
berhitung semata saat ini merisaukan beberapa matematikawan nasional.
Keadaan ini menggiring pertanyaan, “Bagaimana mungkin assesment (penilaian)
Matematika di UN yang sangat jauh dari sempurna dapat menjadi faktor
penentu kelulusan, satu-satunya maupun bukan satu-satunya?”.
Selanjutnya, sangatlah wajar sebagai anggota masyarakat mempertanyakan, “Apakah mutu assesment di UN Matematika itu baik?”.
Untuk mengukur mutu assesment sebetulnya sangat sederhana.
Ada dua pertanyaan dasar yang perlu dijawab. Pertama, apakah mungkin
seseorang yang tidak paham Matematika dapat memperoleh hasil baik di UN
Matematika? Kedua, apakah mungkin seseorang yang paham Matematika,
tetapi memperoleh hasil buruk di UN Matematika?
Jika kita tidak dapat dengan yakin menjawab, “Tidak mungkin!” pada kedua pertanyaan tersebut, itu artinya mutu assesment pada
mata pelajaran Matematika di UN itu memang tidak baik. UN Matematika
saat ini mengukur kecakapan-kecakapan yang sifatnya jangka pendek, bukan
enduring competences atau kecakapan yang tahan lama.
Keadaan UN Matematika seperti ini menyuburkan menjamurnya bimbingan
tes di kota-kota besar, bahkan sekarang juga merambah kota-kota kecil.
Dengan karakter UN Matematika yang mengukur kecakapan jangka pendek,
pengetahuan permukaan, dan ketrampilan aritmetika semata, maka soal-soal
UN Matematika dapat disiasati oleh para pakar di bimbingan tes.
Ini bukan perkara sulit. Para pakar bimbingan tes itu akan
menciptakan berbagai rumus cepat dan cara jitu untuk memilih jawab
dengan benar. Trik-trik ini dapat diajarkan dengan relatif cepat. Ini
jauh lebih mudah dibanding guru-guru Matematika di kelas yang berusaha
menumbuhkan kecakapan bermatematika yang utuh serta memelihara sikap
positif terhadap Matematika.
Keadaan seperti itu sungguh merisaukan, karena akibatnya nilai UN
Matematika yang baik bukan lagi gambaran kemampuan anak bermatematika
dan performa sekolahnya. Keadaan ekonomi keluarga yang baik dan
keberadaan di kota besar memungkinkan seorang anak memperoleh kesempatan
mengikuti bimbingan tes. Ini akan membuat nilai UN Matematika anak itu
baik. Sebaliknya, anak dari keluarga tak mampu akan kesulitan mengakses
fasilitas bimbingan tes.
Akibatnya, anak-anak dari keluarga tak mampu pada umumnya akan
memiliki nilai UN Matematika yang rendah. Kiranya, itulah cerminan dunia
pendidikan kita yang tidak adil.
Lebih parahnya lagi, jika seorang anak memperoleh hasil buruk di UN,
lalu diputuskan dia tidak lulus. Alasan sahih seperti apa yang dapat
diterapkan? Bagaimana mungkin anak itu yang harus menanggung kegagalan,
padahal faktor penyebab kegagalan belajar Matematika juga ada di guru
dan sekolahnya?
UN Matematika dilakukan dalam waktu kurang dari 3 jam. Soal-soal UN
Matematika semuanya berbentuk pertanyaan singkat yang mengutamakan
jawaban akhir semata. Entah, anak memahami atau tidak. Asalkan jawab dan
akhirnya benar, maka dia dianggap memahami.
Sebaliknya, meskipun seorang anak memahami betul proses menyelesaikan
masalah tersebut, tetapi salah di perhitungan akhir, maka anak itu
dilabel tak paham Matematika. Jadilah, bahwa, assesment Matematika ini sifatnya masal dan jauh dari akurat.
Di saat yang sama, kita tahu bahwa guru-guru Matematika di sekolah anak-anak kita telah melakukan assesment
yang dilakukan sehari-hari dan pada tiap akhir semester. Kemungkinan
besar dalam satu tahun seorang anak di tingkat SMA akan menjalani assesment
formal Matematika lebih dari 20 jam. Jadi, dalam 3 tahun, para guru
Matematika SMA sudah mengevaluasi setiap siswanya lebih dari 60 jam.
Secara kuantitas saja, assesment oleh guru ini jauh di atas UN Matematika. Kemudian, pada assesment di
kelas, seorang guru dapat menanyakan soal-soal Matematika yang menuntut
penjelasan dari siswa. Artinya, siswa tidak saja harus menemukan
jawabnya, tetapi juga harus menjelaskan alasan bagaimana memperoleh
jawaban tersebut.
Dengan sifatnya yang masal, UN Matematika jelas tidak sanggup
melakukan hal seperti itu. Jadi, bagaimana UN Matematika yang hanya
sekejap itu dapat disandingkan dengan assesment Matematika
sehari-hari yang mengukur lebih dari sekedar jawab akhir? Ditambah lagi,
UN Matematika memiliki hak memveto ketidaklulusan seorang siswa.
Sungguh, dasar pernalaran ini sangat lemah. Sekolah yang sudah baik dan telah menerapkan kebijakan untuk mengembangkan expert thinking serta
penumbuhan sikap positif terhadap Matematika akan terganggu orientasi
pendidikannya, oleh pemaksaan kebijakan UN dengan mutu soal buruk
seperti sekarang ini.
“Buat apa saya belajar proses bermatematika dengan baik, kalau
nantinya toh tidak diujikan?”. Ini yang akan ada di benak anak serta
orangtuanya, bahkan juga gurunya.
Terbawah
Ini sungguh menyedihkan, karena itu artinya, UN telah melunturkan
semangat menuju pendidikan sesuai tantangan globalisasi. Kecuali itu,
karakter UN Matematika yang buruk ini telah membenarkan serta
menyuburkan budaya jalan pintas pada masyarakat.
Dengan dasar ini, UN telah gagal memberikan pengalaman the joy of doing mathematics ke para siswa. Sebaliknya, UN Matematika berhasil menguatkan persepsi keliru di masyarakat bahwa menghafal atau surface approach cukup jitu untuk belajar Matematika.
UN Matematika yang dilaksanakan sampai tahun lalu belum ditunjukkan korelasi atau benchmark dengan assesment
serupa di tingkat internasional. Jika seorang siswa memperoleh nilai UN
Matematika 6, misalnya, berapa kira-kira yang akan diperoleh anak itu
di sebuah assesment internasional rujukan?
Soal UN Matematika kita pun sangat berbeda dengan beragam assesment Matematika
internasional. Saat ini, kita layaknya sedang melawan arus perkembangan
pendidikan Matematika di dunia. Mungkin, ini alasan yang paling masuk
akal, bahwa mengapa siswa-siswa kita sekitar 50 persen berada di
tingkatan terbawah dalam beberapa assesment internasional Matematika, seperti TIMSS dan PISA.
Upaya luar biasa dari para birokrat untuk mempertahankan metode assesment
Matematika dalam UN ini serta penggunaannya dalam penentuan kelulusan
siswa ini telah melenceng dari sasaran pendidikan jangka panjang yang
diharapkan bangsa, apalagi, harapan untuk bisa berkompetisi di dunia
global.
Anak-anak, orangtua, para pendidik, dan juga jajaran pemerintahan
telah menghabiskan sumber daya dan waktu begitu banyak hanya untuk
sebuah assesment Matematika yang berusaha mengukur sejumput
kecakapan kedaluarsa. Ini layaknya kita sedang mencari cara yang baik
untuk memanjat sebatang pohon yang buahnya sebenarnya sudah busuk.
Penulis adalah Dosen dan Pakar Matematika di Institut Teknologi Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar