Tanggal
17 Agustus merupakan momen yang selalu diingat oleh Bangsa Indonesia
karena pada tanggal tersebut 65 tahun lalu Negara ini memproklamirkan
kemerdekaannya dari penjajahan. Namun sekarang ini setelah 65 tahun
berlalu apakah makna kemerdekaan tersebut telah tertancap di benak kita
atau sekarang ini kita sedang tidur dan terbuai akan mimpi-mimpi indah
kemerdekaan. Mungkin kisah proklamator kita Muh. Hatta atau Bung Hatta
ini dapat dijadikan refleksi pada diri kita apakah kita sekarang telah
benar-benar paham akan kemerdekaan yang hakiki atau jangan-jangan rasa
kemerdekaan itu sudah hilang!
Pada
tahun 1950-an, Bally adalah sebuah merek sepatu yang bermutu tinggi dan
tidak murah. Bung Hatta, Wakil Presiden pertama RI, berminat pada
sepatu itu. Ia kemudian menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat
penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman
tersebut. Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi karena
selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat
dan handai taulan yang datang untuk meminta pertolongan.
Hingga
akhir hayatnya, sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli
karena tabungannya tak pernah mencukupi. Yang sangat mengharukan dari
cerita ini, guntingan iklan sepatu Bally itu hingga Bung Hatta wafat
masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana dari seorang
Hatta. Pada hal, jika ingin memanfaatkan posisinya waktu itu, sangatlah
mudah bagi beliau untuk memperoleh sepatu Bally. Misalnya, dengan
meminta tolong para duta besar atau pengusaha yang menjadi kenalan Bung
Hatta. Namun, di sinilah letak keistimewaan Bung Hatta. Ia tidak mau
meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri dari orang lain.
Bung
Hatta memilih jalan sukar dan lama, yang ternyata gagal karena ia lebih
mendahulukan orang lain daripada kepentingannya sendiri. Pendeknya,
itulah keteladanan Bung Hatta, apalagi di tengah carut-marut zaman ini.
Bung Hatta meninggalkan teladan besar, yaitu sikap mendahulukan orang
lain, sikap menahan diri dari meminta hibah, bersahaja, dan membatasi
konsumsi pada kemampuan yang ada. Kalau belum mampu, harus berdisiplin
dengan tidak berutang atau bergantung pada orang lain.
Seandainya
bangsa Indonesia dapat meneladani karakter mulia proklamator
kemerdekaan ini, seandainya para pemimpin tidak maling, tidak mungkin
bangsa dengan sumber alam yang melimpah ini menjadi bangsa terbelakang,
melarat, dan nista karena tradisi berutang dan meminta sedekah dari
orang asing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar