TAK
banyak yang tahu kalau Presiden RI I Soekarno, ternyata pernah menikahi
Heldy Djafar, seorang gadis asli Tenggarong, Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur. Pernikahan secara Islam diadakan di Wisma Negara, 11
Juni 1966. Saksinya Ketua DPA Idham Chalid dan Menteri Agama Saifuddin
Zuhri.
Saat
Soekarno dikucilkan di Wisma Yaso, Heldy, lalu menikah dengan pria
lain. Pria itu bernama Gusti Suriansyah Noor, keturunan dari Kerajaan
Banjar. Belakangan, satu dari enam orang anaknya, menikah dengan cucu
Presiden RI Soeharto. Bagaimana kisahnya? Mulai hari ini, Tribun Kaltim
akan membedah buku berjudul: 'Heldy Cinta Terakhir Bung Karno' yang
dtulis Ully Hermono dan Peter Kasenda. Buku ini diluncurkan oleh
Penerbit Buku Kompas.
HELDY
lahir di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, tangggal 10
Agustus 1947 dari pasangan H Djafar dan Hj Hamiah. Ia bungsu dari
sembilan bersaudara.
Ketika
Hj Hamiah mengandung Heldy, wanita itu sempat melihat bulan bulat
seutuhnya (bulan purnama). Lalu seorang rekan H Djafar yang sedang
bertandang ke rumahnya (seorang Tionghoa) mengatakan, "Nanti bayimu
lahir harus dijaga hati-hati ya, sampai beranjak dewasa," begitu
pesannya.
Saat
Heldy duduk di bangku SMP, seorang tante yang dianggap pandai meramal
dan biasa disapa Mbok Nong mengatakan, "Wah anakmu ini kelak jika dewasa
akan mendapatkan orang besar."
Mendapat penjelasan itu, Hj Hamiah balik bertanya. "Orang besar itu maksudnya apa?"
"Ya bertitellah seperti insinyur, dokter. Jadi tolong dijaga hati-hati ya."
"Ya bertitellah seperti insinyur, dokter. Jadi tolong dijaga hati-hati ya."
Erham,
kakak kandung Heldy yang paling tua menyebut, orangtua mereka cukup
terpandang di daerahnya. Rumah orang tua Heldy adalah rumah panggung.
Bangunannya memanjang ke samping mencapai 30 meter dan memanjang ke
belakang 40 meter. Terbuat dari kayu pilihan dengan plafon rumah
setinggi empat meter dan memiliki jendela yang berukuran panjang ke
bawah dengan kisi-kisi kayu, lalu berlapis kaca pada bagian luarnya.
Jumlah jendelanya pun cukup banyak. Di atas pintu masuk depan rumah tertulis tahun dibangunnya rumah tersebut, tahun 1938.
"Bapak
seorang aanemer (pemborong). Kami hidup serba kecukupan. Bapak termasuk
orang terpandang dan dihormati di desa kami," kenang Erham, kakak
kandung Heldy yang paling tua.
Heldy Kecil Kepincut Lihat Soekarno (2)
USIANYA
masih 10 tahun. Suatu hari di tahun 1957, Heldy Djafar, menyaksikan
sebuah mobil bak terbuka yang melintas di depan rumahnya. Para penumpang
mobil menyebarkan selebaran berisi pengumuman bahwa akan ada pidato
Presiden Soekarno di Samarinda. Kakak kandung Heldy, bernama Yus, tak
mau ketinggalan. Ia ikut memunggut lembaran kertas itu. Sambil berdiri
di balik pagar rumahnya, Jalan Mangkurawang, Tenggarong, bocah itu
sempat bertanya kepada kakaknya. "Ada apa Kak ke Samarinda?" "Bapak
Presiden mau pidato di sana, saya mau mendengarkan langsung di alun-alun
Samarinda," kata Yus.
Mendengar penjelasan dari kakaknya, Heldy mulai merengek. "Aku mau ikut dengarkan pidato Presiden. Aku juga mau lihat langsung wajah Bapak Presiden."
"Tidak usahlah, kau masih anak-anak, kau mengerti apalah, sudah masuk rumah," pinta Yus.
Setelah mengajak adiknya masuk ke dalam rumah, Yus, bergegas lari, mengejar rombongan manusia yang hendak pergi ke Samarinda.
Heldy lalu masuk ke kamar ibunya Hj Hamiah. Seketika itu juga ia menangis. "Mau lihat Presiden... mau lihat Presiden..." rengeknya.
Mendengar tangis anaknya, sang ibunya malah geram. Gadis kecil itu dicubitnya. "Kayak nenek moyangnya aja yang datang. Tidak boleh ikut, nanti kegencet orang banyak, kamu anak kecil memang tahu apa tentang pidato Presiden. Saudara juga bukan. Sudahlah diam, dan sudahlah cukup dengarkan pidato Presiden lewat radio. Duduklah!"
Maklum, namanya saja anak kecil. Walau sudah diberitahu, Heldy masih saja tetap merengek. Ia masih saja menangis hingga sore hari.
Keinginan Heldy untuk melihat dari dekat pidati Presiden Soekarno itu, mungkin terpicu dengan gambar-gambar Bung Karno dalam bentuk kalender maupun hiasan dinding yang terpajang di rumahnya.
"Di rumah kami, gambar Bung Karno ada dimana-mana. Dalam bentuk kalender maupun hiasan dinding. Maklum saja, saat itu Bung Karno adalah presiden kebanggaan seluruh rakyat Indonesia," kenang Erham, kakak kandung Heldy yang paling tua...(bersambung)
Mendengar penjelasan dari kakaknya, Heldy mulai merengek. "Aku mau ikut dengarkan pidato Presiden. Aku juga mau lihat langsung wajah Bapak Presiden."
"Tidak usahlah, kau masih anak-anak, kau mengerti apalah, sudah masuk rumah," pinta Yus.
Setelah mengajak adiknya masuk ke dalam rumah, Yus, bergegas lari, mengejar rombongan manusia yang hendak pergi ke Samarinda.
Heldy lalu masuk ke kamar ibunya Hj Hamiah. Seketika itu juga ia menangis. "Mau lihat Presiden... mau lihat Presiden..." rengeknya.
Mendengar tangis anaknya, sang ibunya malah geram. Gadis kecil itu dicubitnya. "Kayak nenek moyangnya aja yang datang. Tidak boleh ikut, nanti kegencet orang banyak, kamu anak kecil memang tahu apa tentang pidato Presiden. Saudara juga bukan. Sudahlah diam, dan sudahlah cukup dengarkan pidato Presiden lewat radio. Duduklah!"
Maklum, namanya saja anak kecil. Walau sudah diberitahu, Heldy masih saja tetap merengek. Ia masih saja menangis hingga sore hari.
Keinginan Heldy untuk melihat dari dekat pidati Presiden Soekarno itu, mungkin terpicu dengan gambar-gambar Bung Karno dalam bentuk kalender maupun hiasan dinding yang terpajang di rumahnya.
"Di rumah kami, gambar Bung Karno ada dimana-mana. Dalam bentuk kalender maupun hiasan dinding. Maklum saja, saat itu Bung Karno adalah presiden kebanggaan seluruh rakyat Indonesia," kenang Erham, kakak kandung Heldy yang paling tua...(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar